Translate

Monday, December 20, 2010

Tari Tradisional Karo

masih diselenggarakan pada acara perkawinan, peresmian rumah dan kematian. Sebagian tari masih popular dalam kegiatan muda-mudi yang disebut 'Guro-guro Aron', yakni sebuah pesta rakyat yang dilakukan menjelang musim tanam padi, ataupun panen. Bahkan tari tradisi ini masih dilaksanakan dalam upacara ritual (kepercayaan lama) bahkan agama baru. Menurut Anton Sitepu, tari tradisi Karo dapat dibagi menjadi dua bagian.



1. Tari Sakral dan Tari Sekular. Tari Sakral adalah tari upacara agama, seperti Tari Tungkat, dan Tari Gundala-gundala. Sedangkan tari Piso Surit, Terang Bulan dan Tari Lima Serangkai adalah tari yang tidak ada hubungannya dengan upacara keagamaan. Sementara tari Komunal adalah tarian yang dilakukan banyak orang untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk dipertontonkan, tapi tidak ada larangan orang hadir untuk menontonnya.

2. Sedangkan tari Guro-guro Aron adalah tari kaum muda-mudi. Setiap orang muda yang hadir akan mendapat giliran untuk menari sesuai dengan kelompok marga yang disandangnya. Tari Komunal Magis ditemui pada upacara-upacara yang berbau magis, seperti Erpangir Kulau, Raleng Tendi dan Perumah Begu yang didalamnya sarat tari-tarian. Sedangkan tari Tontonan adalah tari yang sengaja digarap untuk dipertontonkan kepada orang lain. Seperti tari Piso Surit, Terang Bulan, Roti Manis, Lima Serangkai serangkai yang memang digarap untuk kebutuhan penonton. Namun ada juga yang dikerjakan lebih serius sebagai seni pertunjukan.


 

Bagi masyarakat Karo, dikenal istilah uga gendangna bage endekna, yang artinya bagaimana musiknya, harus demikian juga gerakannya (endek). Endek diartikan disini tidak sebagai gerakan menyeluruh dari anggota badan sebagai sebagaimana tarian pada umumnya, tetapi lebih ditekankan kepada gerakan kaki saja. Oleh sebab itu endek tidak dapat disamakan sebagai tari, meskipun unsure tarian itu ada disana. Hal ini disebabkan konsep budaya itu sendiri yang memberi makna yang tidak dapat diterjemahkan langsung kata per kata. Karena konsep tari itu sendiri mempunyai perbedaan konsep seperti konsep tari yang dalam berbagai kebudayaan lainnya. Konsep endek harus dilihat dari kebudayaan karo itu sendiri sebagai pemilik kosa kata tersebut.


 

Konsep-konsep seperti ini juga dapat kita lihat pada istilah musik bagi masyarakat Karo. Pada masyarakat Karo tidak dikenal istilah musik, dan tidak ada kosa kata musik, tetapi dalam tradisi musik kita mengenal istilah gendang yang terkait dengan berbagai hal dalam 'musik' atau bahkan dapat diterjemahkan juga sebagai musik. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang mempunyai lima makna,


 

  • gendang sebagai ensambel musik, misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen dan sebagainya;


 

  • gendang sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya;


 

  • gendang sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga terkadang sebagai cak-cak atau style) dan sebagainya;


 

  • gendang sebagai instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak; dan


 

  • gendang sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya. Konsep seperti ini juga berlaku bagi tarian.


Endek dapat diartikan sebagai gerakan dasar, yaitu gerakan kaki yang sesuai dengan musik pengiring (accompaniment) atau musik yang dikonsepkan pada diri sipenari sendiri, karena ada kalanya juga gerakan-gerakan tertentu dapat dikategorikan sebagai tarian, namun tidak mempunyai musik pengiring. Kegiatan menari itu sendiri disebut dengan landek, namun untuk nama tari jarang sekali dipakai kata landek, jarang sekali kita pernah mendengar untuk menyebutkan landek roti manis untuk tari roti manis atau tarian lainnya. Malah lebih sering kita dengar dengan menggunakan istilah yang diadaptasi dari bahasa Indonesia yaitu 'tari', contohnya tidak menyebut Landek Lima Serangke, tapi Tari Lima Serangke. Landek langsung terkait dengan kagiatan, bukan sebagai nama sebuah tarian.


 

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam tari karo, yaitu

  • endek (gerakan naik turun kaki),
  • jole atau jemole, yaitu goyangan badan, dan
  • tan lempir, yaitu tangan yang gemulai, lembut. Namun disamping itu bagaimana ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam gerakan-gerakan tari, terkait dengan musik pengiring itu sendiri dan dalam konteks tarian itu sendiri, misalnya dalam tarian adat, muda-mudi, khusus, dan sebagainya.


Gerakan dasar tarian Karo dibagi atas beberapa style yang dalam bahasa Karo disebut dengan cak-cak. Ada beberapa cak-cak yang dikenal pada musik Karo, yang terkait dengan gaya dan tempo sekaligus, yaitu yang dimulai dari cak-cak yang sangat lambat sampai kepada cak-cak yang relative cepat, yaitu antara lain yang lazim dikenal adalah:


 

  • cak-cak simalungen rayat, dengan tempo lebih kurang 60 – 66 jika kita konversi dalam skala Metronome Maelzel. Apabila kita buat hitungan berdasarkan ketukan dasar (beat), maka cak-cak ini dapat kita kategorikan sebagai cak-cak bermeter delapan. Artinya pukulan gung dan penganak (small gong) sebagai pembawa ketukan dasar diulang-ulang dalam hitungan delapan;


 

  • cak-cak mari-mari, yang merupakan cak-cak yang lebih cepat dari cak-cak simalungen rayat. Temponya lebih kurang 70 hingga 80 per menit; cak-cak odak-odak, yang merupakan cak-cak yang temponya lebih kurang 90 – 98 per menit dalam skala Maelzel.


 

  • cak-cak patam-patam, merupakan cak-cak kelipatan bunyi ketukan dasar dari cak-cak odak-odak, dan temponya biasanya lebih dipercepat sedikit antara 98 sampai 105. Endek kaki dalam cak-cak ini merupakan kelipatan endek dari cak-cak odak-odak.


 

cak-cak gendang seluk, yaitu cak-cak yang sifatnya progressif, semakin lama semakin cepat, yang biasanya dimulai dari cak-cak patam-patam. Jika dikonversi dalam skala metronome Maelzel, kecepatannya bias mencapai 160-an, dan cak-cak silengguri, biasanya cak-cak ini paling cepat, karena cak-cak ini dipakai untuk mengiringi orang yang intrance atau seluk (kesurupan).

Sejarah dan Makna Filosofi Tari Karo

Berbicara tentang sejarah seni tari Karo, maka kita akan dihadapkan pada kajian folklore, karena tidak ada tanggal-tanggal yang pasti diketahui kapan munculnya tarian Karo. Tetapi pada umumnya tari yang unsur dasarnya adalah gerak dapat kita temui dalam ritus-ritus dan upacara-upacara tradisional yang ada pada masyarakat Karo. Dengan demikian makna dari setiap gerakan-gerakan mempunyai makna dan filosofi tergantung jenis tarinya. Meskipun demikian ada beberapa hal yang terkait dengan tari karo, misalnya gerakan tangan yang lempir, pandangan mata, endek nahe, b ukan buta-buta. Disamping itu juga makna gerakan-gerakan tangan juga mempunyai makna tersendiri.


 

Ada beberapa makna dari gerakan tari Karo berupa perlambangan, yaitu:

  • Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah melambangkan tengah rukur, yaitu maknanya selalu menimbang segala sesuatunya dalam bertindak;


 

  • Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, yang artinya saling tolong menolong dan saling membantu;


 

  • Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la banci ndeher adi langa si oraten, yang artinya siapa pun tidak boleh dekat kalau belum mengetahui hubungan kekerabatan, ataupun tidak kenal maka tidak saying;


 

  • Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yang artinya mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat;


 

  • Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe labanci ndeher, artinya siapapun tidak bias mendekat dan berbuat sembarangan; gerakan tangan sampai kepala dan membentuk seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya menimbang sebelum memutuskan, piker dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna;

  • Gerak tangan kanan dan kiri sampai bahu, melambangakan baban simberat ras menahang ras ibaba, yang bermakna ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya mampu berbuat mampu bertanggung jawab dan serasa sepenanggunan gerakan tangan dipinggang melambangkan penuh tanggung jawab


 

  • Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise per eh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, artinya siapapun yang dating jika sudah berkenalan dan mengetahui hubungan kekerabatan diterima dengan baik sebagai keluarga (kade-kade).

MAKNA YANG TERDAPAT PADA SISTEM PERALATAN GONDANG SABANGUNAN

A. Pengertian Gondang

Pada tradisi musik Toba, kata gondang (secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai : (1) seperangkat alat musik, (2) ensambel musik, (3) komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (pasaribu, 1987). Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah,1990).

Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni gondang
sabangunan (gondang bolon) dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan dan gondang hasapi adalah dua jenis ensambel musik yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan keduanya selalu digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara lainnya.

Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua. Misalnya : gondang si Bunga Jambu, gondang si Boru Mauliate dan sebagainya. Kata si bunga jambu, si boru mauliate dan malim menunjukkan sebuah komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri. Berbeda dengan gondang somba-somba, didang-didang dan gondang elekelek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi, namun kata somba-somba, didang-didangi, dan elek-elek memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa komposisi yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di atas, yang merupakan "satu keluarga gondang". Komposisi dalam "satu keluarga gondang," memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: gondang Debata (termasuk di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sari, Bana Bulan, dan Mulajadi), gondang Sahalai, dan gondang Habonaran.

Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. si lima Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang pargosi (baca pargocci) atau panjujuran Gondang adalah sebuah reportoar/kumpulan lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba. Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan "inti" dari keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis bagian apa saja yang terdapat pada si pitu Gondang tampaknya cukup rumit juga umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si pitu Gondang dapat dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh ditarikan.

Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya gondang Mandudu ("upacara memanggil roh") dan upacara Saem ("upacara ritual"). Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya : gondang Suhut, gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya. Jika dikatakan gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari bersama kelompok kekerabatan lain yang didinginkannya. Demikian juga gondang boru (artinya perempuan yang mendapat kesempatan untuk menari), gondang datu (artinya datu yang meminta gondang dan menari), dan gondang naposo (artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk menari).

Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang Sadari Saborngin, yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam.

Dengan demikian, pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi beberapa pengertian yang berbeda-beda.

B. Istilah Gondang Sabangunan

Banyak istilah yang diberikan para ahli kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak itu sendiri terhadap gondang Sabangunan, antara lain: ogung, ogung sabangunan, gordang parhohas na ualu (perkakas nan delapan) dan sebagainya. Tetapi semua ini merupakan istilah saja, karena masing-masing pada umumnya mempunyai pengertian yang sama.

Diantara istilah-istilah tersebut di atas, istilah yang paling menarik perhatian adalah parhohas na ualu yang mempunyai pengertian perkakas nan delapan. Istilah ini umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh tua saja, dan biasanya disambung lagi dengan kalimat "simaningguak di langit natondol di tano" (artinya berpijak di atas tanah sampai juga ke langit). Menurut keyakinan suku bangsa Batak Toba dahulu, apabila gondang sabangunan tersebut dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari mengikuti gondang itu akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di tano). Biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam "gondang" itu yang dapat membuat orang bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.

Gondang sabangunan disebut "parhohas na ualu", karena terdiri dari delapan jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu taganing, sarune, gordang, ogung ihutan, ogung oloan, ogung panggora, ogung doal dan hesek ditambah dengan odap. Kedelapan intrumen itu merupakan lambang dari kedelapan mata angin, yang disebut "desa na ualu" dan merupakan dasar yang dipakai untuk sebutan Raja Na Ualu (Raja Nan Delapan) bagi komunitas musik gondang sabangunan. Pada masa awal perkembangan musik gondang Batak, instrumen-instrumen ini masing-masing dimainkan oleh satu orang saja.

Tetapi sejalan dengan jaman, ogung oloan dan ogung ihutan telah dapat dimainkan hanya oleh satu orang saja. Sedangkan odap sudah tidak dipakai lagi. Kadang-kadang peran hesek juga dirangkap oleh pemain taganing, sehingga jumlah pemain ensambel itu bervariasi. Keseluruhan pemain yang memainkan instrumen-instrumen dalam gondang sabangunan ini disebut pargonsi dan kegiatan yang menggunakan perangkat-perangkat musik tradisional ini disebut margondang (memainkan gondang).

C. Jenis Dan Fungsi Instrumen Gondang Sabangunan

Gondang sabangunan sebagai kumpulan alat-alat musik tradiosional Batak Toba, terdiri dari : taganing, gordang, sarune, ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, ogung doal dan hesek. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan masing-masing instrumen ditinjau dari fungsinya.

1. Taganing

Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai "pengaba" atau "dirigen" (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

2. Gordang

Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.

3. Sarune

Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.

4. Ogung Oloan (pemimpin atau yang harus diikuti)

5. Ogung Ihutan atau Ogung Pangalusi (yang menjawab atau yang mengikuti)

6. Ogung panggora atau Ogung Panonggahi (yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

7. Ogung Doal (tidak mempunyai arti tertentu)

Ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi ogung oloan ini umumnya sama dengan fungsi ogung ihutan, ogung panggora dan ogung doal dan sedikit sekali perbedaannya. ogung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan. Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi bersamaan dengan ogung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan ogung oloan.

Oleh karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi ogung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogung oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti "pemimpin" atau "yang harus dituruti" , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu "yang menjawab" atau "yang menuruti". Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara oloan dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan "tanya jawab"

8.
Hesek

Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.

D. Susunan Gondang Sabangunan

Menurut falasafah hidup orang Batak Toba, "bilangan" mempunyai makna dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas adat. "Bilangan genap" dianggap bilangan sial, karena membawa kematian atau berakhir pada kematian. Ini terlihat dari anggota tubuh dan binatang yang selalu genap. Menurut Sutan Muda Pakpahan, hal itu semuanya berakhir pada kematian, dukacita dan penderitaan (Nainggolan, 1979). Maka di dalam segala aspek kehidupan diusahakan selalu "bilangan ganjil" yang disebut bilangan na pisik yang dianggap membawa berkat dan kehidupan.

Dengan kata lain "bilangan genap" adalah lambang segala ciptaan didunia ini yang dapat dilihat dan hakekatnya akan berlalu, sedang "bilangan ganjil" adalah lambang kehidupan dan Pencipta yang tiada terlihat yang hakekatnya kekal. Itulah sebabnya susunan acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan ganjil. Nama tiap acara, disebut "gondang" yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus menunjukkan pada bilangan ganjil seperti satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara.

Selanjutnya susunan acara itu hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan. Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si Pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara atau jenis gondang yang diminta. "Gondang mulamula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop". Artinya Gondang mula-mula merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh raja-raja dan khalayak ramai.

Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:

1. Gondang Alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.

2. Gondang Somba-Somba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tangan bersikap menyembah.

Bentuk upacara yang termasuk gondang pasu-pasuan antara lain:

1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan keturunan banyak.

2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.

3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.

4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.

5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh kemenangan.

6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.

7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.

8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.

Bentuk upacara yang termasuk gondang hasatan antara lain:

1. Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawaban terhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.

2. Gondang Hasatan, menggambarkan penghargaan yang pasti tentang segala yang diminta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama. "Gondang hasatan i ma pos ni roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta". Artinya : Gondang hasatan ialah : suatu keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini biasanya pendek-pendek saja.

Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan beberapa nomor acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan. Masing- masing gondang ditarikan satu kali saja. Contohnya:

Sebagai pendahuluan : Gondang Alu-alu (tidak ditarikan).

I. Gondang Mula-mula (1x). Biasanya gondang ini disatukan dengan Gondang Somba-somba. Di Gondang Mula-mula menari dengan tidak membuka tangan dan hanya sebentar. Di Gondang Somba-somba menari sambil membuka tangan.

II. Gondang Pasu-pasuan (3x) atau (5x).

III. Gondang Hasahatan (1x) atau (2x).


 

Yang umum dilaksanakan terdiri dari tujuh nomor acara (Si pitu Gondang)
dengan susunan :

1. Gondang Mula-mula.

2. Gondang Somba-somba.

3. Gondang Sampur Marmere.

4. Gondang Marorot.

5. Gondang Saudara.

6. Gondang Sitio-tio.

7. Gondang Hasatan.


Jumlah : 7x (2 G. Mula-mula + 3 G. Pasu-pasuan+ 2 G Hasahatan)


 

Jika diadakan dalam lima nomor acara (Si lima Gondang), umumnya susunannya adalah sebagai berikut:

1. Gondang Mula-mula dengan Somba-somba.

2. Gondang Sibane-bane.

3. Gondang Simonang-monang.

4. Gondang Didang-didang.

5. Gondang Hasatan sitio-tio.

Jumlah : 5x (1. G Mula-mula + 3 G Pasu-pasuan + 1 G Hasatan).


 

Sedangkan dalam tiga nomor acara (Si tolu Gondang), umumnya susunannya ialah :

1. Gondang Mula-mula dengan Somba-somba.

2.Gondang Sibane-bane disatukan dengan Gondang Simonang-monang.

3. Gondang Hasahatan sitio-tio.


 

Jumlah : 3x (1 G Mula-mula + 1 G Pasu-pasuan + 1 G = Hasahatan).

Jika hanya nomor acara (Si sada Gondang) , maka di dalamnya sekaligus
dimainkan Gondang Mula-mula, Gondang Pasu-pasuan, dan Gondang Hasahatan.

E. Syarat-Syarat Pemain Gondang Sabangunan

Para pemain instrumen-instrumen yang tergabung dalam komunitas gondang,disebut pargonsi. Biasanya, sebagian besar warga masyarakat Batak Toba tertarik mendengar alunan suara yang dikeluarkan oleh gondang sabangunan tersebut, tetapi tidak semuanya mampu memainkan alat-alat tersebut apalagi mencapai tahap pargonsi. Hal ini disebabkan karena adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi seorang pargonsi. Syarat-syarat tersebut seperti yang dikemukakan seorang ahlinya, antara lain:

1. Harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta)

Sahala ini merupakan berkat kepintaran khusus dalam memainkan alat musik yang diberikan kepada seseorang sejak dalam kandungan. Dengan kata lain orang tersebut sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pargonsi sebagai permintaan Mula Jadi Na Bolon.

2. Melalui proses belajar

Seseorang dapat menjadi pargonsi, dengan adanya berkat khusus yang diberikan Mulajadi Na Bolon sekaligus dipadukan dengan proses belajar. Sehingga itu seseorang memiliki ketrampilan khusus untuk dapat menjadi pargonsi. Walaupun melalui proses belajar, tetapi jika tidak diberikan sahala kepada orang tersebut, maka ia tidak berarti apa-apa atau tidak menjadi pargonsi yang pandai.

3. Mempunyai pengetahuan mengenai ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan dalam adat)

Maksudnya mengetahui struktur masyarakat Batak Toba yaitu Dalihan Na Tolu dan penerapannya dalam masyarakat.

4. Umumnya yang diberkati Mulajadi Na Bolon untuk menjadi seorang pargonsi adalah laki-laki

Dengan alasan : Laki-laki merupakan hasil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi
Na Bolon. Laki-laki lebih banyak memiliki kebebasan daripada perempuan, karena para pargonsi sering diundang memainkan ke berbagai daerah untuk memainkan gondang sabangunan dalam suatu upacara adat.

5. Seseorang yang menjadi pargonsi harus sudah dewasa tetapi bukan berarti harus sudah menikah

F. Pemain Musik Gondang Sabangunan

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa keseluruhan pemain yang menggunakan instrumen- instrumen dalam gondang sabangunan disebut pargonsi. Dahulu, istilah pargonsi ini hanya diberikan kepada pemain taganing saja, sedangkan kepada pemain instrumen lainnya hanya diberikan nama sesuai dengan nama instrumen yang dimainkannya, yaitu parogung (pemain ogung ) atau parsarune (pemain sarune ).

Dalam konteks sosial, pargonsi ini mendapat perlakuan yang khusus. Hal ini didukung oleh adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargonsi berdasarkan pangkat dan jabatan. Sikap khusus yang diberikan masyarakat kepada pargonsi itu disebabkan karena seorang pargonsi selain memiliki ketrampilan teknis, mendapat sahala dari Mulajadi
Na Bolon, juga mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat/sendi-sendi peradatan). Sehingga untuk itu, pargonsi mendapat sebutan Batara Guru Humundul (artinya :Dewa Batara Guru yang duduk) untuk pemain taganing dan Batara Guru Manguntar untuk pemain sarune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan Dewa dan mendapat perlakuan istimewa, baik dari pihak yang mengundang pargonsi maupun dari pihak yang terlibat dalam upacara tersebut. Dengan perantaraan merekalah, melalui suara gondang (keseluruhan instrumen), dapat disampaikan segala permohonan dan puji-pujian kepada Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Esa) dan dewa-dewa bawahannya.

Posisi pargonsi tampak pada saat hendak diadakannya horja (upacara pesta) yang menyertakan gondang sabangunan untuk mengiringi jalannya upacara. Pihak yang berkepentingan dalam upacara akan mengundang pargonsi dan menemui mereka dengan permohonan penuh hormat, yang disertai napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas piring.

Pada saat upacara berlangsung, pargonsi akan dilayani dengan hormat, seperti ketika suatu kelompok orang yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu ingin menari, maka mereka akan meminta gondang kepada pargonsi dengan menyerukan sebutan yang menyanjung dan terhormat, yaitu :"Ale Amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batar Guru Manguntar, na sinungkun botari na ni alapan arian, parindahan na suksuk, parlompaan na tabo, Paraluaon na tingkos, paratarias na malo". Artinya "Yang terhormat para pemain musik, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar. Yang ditanya sore hari dan dijemput siang hari, penikmat nasi yang empuk, penikmat lauk yang lezat. Penyampai pesan yang jujur, pemikir yang cerdas.

Untaian kalimat di atas menunjukkan makna dari suatu sikap yang menganggap bahwa pargonsi itu setara dengan Dewa. Mereka harus selalu disuguhi dengan makanan yang empuk dan lezat, harus dijemput dan diantar kembali bila pergi ke suatu tempat dan mereka itu dianggap mempunyai pikiran yang jujur dan cerdas sehingga dapat menjadi perantara untuk menghubungkan dengan Mulajadi Nabolon.

Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, penghargaan kepada pargonsi sudah berubah. Hal ini disebabkan kehadiran musik (suatu sebutan dari masyarakat Batak Toba untuk kelompok brass band) yang menggantikan kedudukan gondang sabangunan sebagai pengiring upacara. Apabila pihak yang terlibat dalam upacara meminta sebuah repertoar, mereka akan menyebut pargonsi kepada dirigen atau pimpinan kelompok musik tersebut. Walaupun kedudukan kelompok musik sama dengan gondang sabangunan dengan menyebut "pargonsi" kepada pemain musik, namun musisi tersebut tidak dapat dianggap sebagai Batara Guru Humundul ataupun Batara Guru Manguntar.

Sikap hormat yang diberikan masyarakat kepada pargonsi bukanlah suatu sikap yang permanen (tetap), tetapi hanya dalam konteks upacara. Di luar konteks upacara, sebutan dan sikap hormat tersebut akan hilang dan pargonsi akan mempunyai kedudukan seperti anggota masyarakat lainnya, ada yang hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagainya.

Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa penulis Batak Toba yang menerangkan sebutan untuk masing-masing instrumen dalam gondang sabangunan. Seperti pasariboe
(1938) menuliskan sebagai berikut : oloan bernama simaremare, ihutan bernama situri-turi, panggora bernama situhur tolong, doal bernama sisunggul madam, taganing bernama silima hapusan, gordang bernama sialton sijarungjung dan odap bernama siambaroba. Penulis Batak Toba lainnya, pasaribu
(1967) menuliskan taganing bernama pisoridandan, gordang bernama sialtong na begu, odap bernama siambaroba, oloan bernama si aek mual, ihutan bernama sitapi sindar
mataniari, panggora bernama situhur, doal bernama diri
mengambat, dan hesek bernama sigaruan nalomlom.

Nama-nama di atas merupakan nama yang diberikan oleh pemilik instrumen musik atau pimpinan komunitas musik dan sangat sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Nama-nama tersebut berbeda pada tiap-tiap daerah, tergantung bagaimana masyarakatnya menamainya.

batak

Konsep masyarakat Batak Toba ; Ganjil adalah indah
Dalam kehidupan masyarakat batak, angka ganjil adalah keberuntungan. Dengan konsep demikian tanpa disadari masyarakat telah menarapkannya di kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini dibuktikan dengan segala aktivitas masyarakat, adat, serta kesenian mendapat dampak konsep tersebut. Ini dapat dilihat dari :
  1. Falsafah : dalihan na tolu
  • Somba marhula-hula,
  • manat mardongan tubu,
  • elek marboru.
"Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna ".
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.
  1. Scale (tangga nada)
Masyarakat batak dalam budaya musical menggunakan tangga nada pentatonic scale, yaitu terdiri dari lima nada.
  1. Tangga rumah selalu ganjil

     
    Terdiri dari anak tangga berjumlah 3,5,..

     

     
  2. Meminta gondang (repertoar lagu) pasti ganjil
susunan acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan ganjil. Nama tiap acara, disebut "gondang" yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus menunjukkan pada bilangan ganjil seperti satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara.
Pada upacara secara umum, yaitu
  • pendahuluan yang disebut gondang mula-mula,
  • pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu,
  • dan penutup yang disebut gondang hasatan.
Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si Pitu Gondang (Si Tujuh Gondang).
Yang umum dilaksanakan terdiri dari tujuh nomor acara (Si pitu Gondang)
dengan susunan :

  1. Gondang Mula-mula
  2. Gondang Somba-somba
  3. Gondang Sampur Marmere.
  4. Gondang Marorot.
  5. Gondang Saudara.
  6. Gondang Sitio-tio.
  7. Gondang Hasatan.

Jumlah : 7x (2 G. Mula-mula + 3 G. Pasu-pasuan+ 2 G Hasahatan)

 

 

 

 
Jika diadakan dalam lima nomor acara (Si lima Gondang), umumnya susunannya adalah sebagai berikut:
  1. Gondang Mula-mula dengan Somba-somba
  2. Gondang Sibane-bane.
  3. Gondang Simonang-monang.
  4. Gondang Didang-didang.
  5. Gondang Hasatan sitio-tio.
Jumlah : 5x (1. G Mula-mula + 3 G Pasu-pasuan + 1 G Hasatan).

 
Sedangkan dalam tiga nomor acara (Si tolu Gondang), umumnya susunannya ialah :
  1. Gondang Mula-mula dengan Somba-somba
  2. Gondang Sibane-bane disatukan dengan Gondang Simonang-monang.
  3. Gondang Hasahatan sitio-tio.

 
  1. Konsep warna (hitam, merah, putih)
  2. Dll

 
Begitulah peranan angka ganjil dimasyarakat Batak, ganjil itu indah, sempurna. walaupun di Eropa atau Barat menganggap angka ganjil tersebut itu pembawa sial tetapi masyarakat tidak sependapat dengan itu.
Dengan demikian salah satu konsep indah bagi masyarakat Batak adalah konsep ganjil.

Monday, October 4, 2010

MUSIK INDIA


Music india terbagi atas

  1. Hindustani, bagian utara dipengaruhi islam
  2. Karnatanaka, bagian selatan


Music klasik India terdiri dari :

  1. Raga
  2. Tala


Orang India punya sebutan nada

Barat

India

Do

Sa

Re

Ri

Mi

Ga

Fa

Ma

Sol

Pa

La

Tha

Si

Ni



  1. System Raga

Raga berhubungan dengan suasana, waktu, arah, tangga nada, modus.

Raga terbagi :

  • Melakarta (72 induk raga)
  • That (10 induk raga)

Raga itu adalah :

  • Sist.modus dari music klasik India.
  • Sebuah modus melodic yang dibedakan dari yang lainnya oleh berbagai elemen yang potensial.
  • Seleksi dari nada-nada atau scale,bentuk melody,motif melodi, ornamentasi dll.


  1. Tala


System yang ditandai dengan angga/sub divisi-sub divisi.

Angga terdiri dari :

  • Drutan (O)
  • Andrutan (U)
  • Lagu (In )

tala

Jati 4 3 7 5 9

caturasra

tisra

rhisra

khanda

shankirna

Druva

I4 O l4 l4

I3 O l3 l3

I7 O l7 l7

I5 O l5 l5

I9 O l9 l9

Natya

I4 O l4

I3 O l

I7 O l7

I5 O l5

I9 O l9

Rupata

O l4

O l3

O l7

O l5

O l9

Triputa

I4 O O

I3 O O

I7 O O

I5 O O

I9 O O

Jhampa

I4 U O

I3 U O

I7 U O

I5 U O

I9 U O

Ata

I4 U O O

I3 U O O

I7 U O O

I5 U O O

I9 U O O

Eka

I4

I3

I7

I5

I9



Kria: cara membawakan tala

Jati : jumlah lagu


Tempo (laya) :

  • Vilambit (lambat)
  • Madya (sedang)
  • Drut (cepat)


Ensambel music klasik india :

  • Alat melodis (instrument dan audience ikut terlibat)
  • Drone (memainkan nada dasar dan ke V
  • Rhytem (memainkan rhytem dan melodi)


Monday, August 30, 2010

Kebudayaan

Mengapa kebudayaan berubah ? Menurut Haviland (1993a: 250-251) kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa adanya kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Semua kebudayaan pada suatu waktu pasti berubah karena bermacam-macam sebab, salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa perubahan, kebudayaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah.

Koentjraningrat (1990a: 89) melihat bahwa sejak lahirnya, Ilmu Sosiologi telah banyak memperhatikan masalah perubahan kebudayaan. Pada abad ke-19 telah ada perhatian terhadap kemajuan kebudayaan manusia, sehingga dengan demikian telah lahir pula teori-teori tentang evolusi kebudayaan, yaitu perubahan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia, mulai dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai dengan ke bentuk-bentuk yang semakin lama semakin kompleks. Pada masa menjelang Perang Dunia II, yaitu masa sekitar tahun 1930 dan terutama pada waktu-waktu setelah itu, diantara para ahli sosiologi telah timbul perhatian baru terhadap masalah perubahan kebudayaan diantara berbagai bangsa di Afrika, Asia, Osenia, dan Amerika.

Hal ini disebabkan karena pengaruh sistem ekonomi, pendidikan, dan organisasi sosial yang dibawa dari orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai penjajah bangsa-bangsa tersebut. Namun, perhatian dan hasrat yang besar untuk melakukan penelitian mengenai gejala perubahan kebudayaan oleh para ahli sosiologi Ero-Amerika tersebut lebih didasarkan kepada timbulnya gejala peningkatan kepandaian, kemampuan melawan sistem kolonialisme, dan kesadarna nasional diantara bangsa-bangsa tersebut, yang menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup bagi kolonialisme itu sendiri.

Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan dari para warganya, di mana peranan-peran tersebut dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-pranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimliki oleh masyarakat lainnya.

Kebudayaan (mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b : 58-61) dilihat sebagai : (1) pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku, tetapi penggunaannya sebagai acuan adalah berbeda-beda menurut konteks lingkungan kegiatannya; (2) Perangkat-perangkat pengetahuan dan kenyakinan yang merupakan hasil interpretasi atau pedoman bagi kehidupan tersebut. Dan kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu : kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa, dan kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga kota melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional.

Kebudayaan kedua, adalah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan sukubangsa fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari-hari di dalam suasana-suasana sukubangsa, terutama dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan keluarga, dan dalam berbagai hubungan sosial dan pribadi yang suasananya adalah suasana sukubangsa.

Kebudayaan yang ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakat kota adalah kebudayaan umum, yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu secara spontan untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan ekonomi, kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan sosial.

Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak di tempat-tempat umum dalam kehidupan kota.

Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada perbedaan pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif.

Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi "kata benda" tetapi "kata kerja".

Konsep kebudayaan telah diperluas dan didinamisasi, kendatipun secara akademik orang sering membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada dasarnya keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis. Sebab kebudayaan sebagai wilayah akal budi manusia tidak hanya mengandung salah satu aspek dari kegiatan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban merupakan dua sisi mata uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas. Jika kebudayaan adalah aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi realisasi aspirasi itu.

Berbicara tentang perlindungan atau cagar kebudayaan, kita tidak boleh terjebak pada pengertian kebudayaan sebagai sebuah subsistem hasil. apalagi yang semata-mata bersifat fisik. Tetapi harus meliputi seluruh sistem kebudayaan. Upaya pencagaran atau per!indungan atas sebuah .kebudayaan pun tidak boleh dilakukan tanpa perhitungan. Diperlukan kriteria-kriteria tertentu yang dapat dipakai sebagai suatu ukuran sejauh mana kebudayaan perlu atau tidak dicagari. Setidaknya ada 3(tiga) kriteria yang dapat dijadikan ukuran yakni 1) keadiluhungan, 2) kemapanan dan 3) kesejarahan.


 

2.1 Konsep-Konsep Dinamika Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1996: 142) semua konsep yang kita perlukan untuk menganalisa proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai dinamika social. Beberapa konsep tersebut antara lain sebagai berikut.

1.
Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi;

2.
Evolusi kebudayaan dan difusi;

3.
Proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi;

4.
Proses pembauran atau inovasi atau penemuan baru.

Selanjutnya keempat konsep tersebut akan dibahas satu persatu di bawah ini.

2.2 Proses Belajar Kebudayaan Sendiri

1.
Proses Internalisasi

Menurut Koentjaraningrat (1996: 142-143) proses internalisasi adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup individu, yaitu mulai dari ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Sepanjang hayatnya seorang individu terus belajar untuk mengolah segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang kemudian membentuk kepribadiannya.

2.
Proses Sosialisasi

Talcott Parson (dalam Koentjaraningrat, 1996: 143-145) menggambarkan proses mengenai kebudayaan sebagai bagian dari proses sosialisasi individu. Semua pola tindakan individu-individu yang menempati berbagai kedudukan dalam msyarakatnya yang dijumpai sesorang dalam kehidupannya sehari-hari semenjak ia dilahirkan, dicerna olehnya sehingga individu tersebut pun akan menjadikan pola-pola tindakan tersebut sebagai bagian dari kepribadiannya.

Oleh karena itu untuk dapat memahami suatu kebudayaan, mengamati jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami sebagian besar individu dalam suatu kebudayaan merupakan sustu metode yang sejak lama diminati oleh para ahli sosiologi

3.
Proses Enkulturasi

Menurut Koentjaraningrat (1996: 145-147) proses enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adapt, sistem norma, dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan, yaitu dalam lingkungan keluarga, dan kemudian dalam lingkungan yang semakin lama semakin meluas.

Pada awalnya seorang anak kecil mulai belajar dengan cara menirukan tingkah laku orang-orang yang berada di sekitarnya, yang lama kelamaan menjadi pola yang mantap, dan norma yang mengatur tingkah lakunya "dibudayakan". Selain dalam lingkungan keluarga, norma-norma tersebut dapat dipelajari dari pengalamannya bergaul dengan sesam warga maysarakat dan secara formal di lingkungan sekolah.

2.3 Evolusi Kebudayaan dan Difusi

1.
Evolusi Kebudayaan

Evolusi kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1996: 142) adalah proses perkembangan kebudayaan umat manusia mulai dari bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana sampai yang semakin lama semakin kompleks, yang dilanjutkan dengan proses difusi, yaitu penebaran kebudayaan-kebudayaan yang terjadi bersamaan perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi ini.

Proses evolusi menurut Koentjaraningrat (1996: 147) kebudayaan dapat dianalisis secara mikro maupun secara makro. Proses kebudayaan yang dianalisis secara mikro (detail) dapat memberikan gambaran mengenai berbagai proses yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Proses evolusi sosial-budaya secara makro adalah proses yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang.

Di dalam Ilmu Sosiologi proses ini hanya memperhatikan perubahan-perubahan besar yang terjadi.

Difusi menurut Haviland (1993a: 257) difusi adalah penyebaran adapt atau kebiasaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain.

Menurut Koentjaraningrat (1996: 150) Ilmu Paleoantropologi dapat memperkirakan bahwa makhluk manusia yang pertama hidup di daerah Sabana beriklim tropis di Afrika Timur. Manusia pada saat ini ternyata telah menduduki hampir seluruh muka bumi dengan berbagai jenis lingkungan iklim yang berbeda-beda. Hal ini hanya dapat terjadi dengan proses pengembangbiakan, migrasi, serta adaptasi fisik dan sosial budaya, yang telah berlangsung salam beratus-ratus tahun lamanya.

Selanjutnya di katakan oleh Koentjaraningrat bahwa migrasi dapat berlangsung lamban dan otomatis maupun secara cepat dan mendadak. Migrasi yang lamban dan otomatis berkembang sejajar dengan peningkatan jumlah umat manusia di dunia, yang konsekuensinya membutuhkan daerah yang semakin lama semakin luas.

2.4 Proses Pengenalan Unsur-Unsur Kebudayaan Asing

1.
Akulturasi

Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) adalah istilah dalam sosiologi yang memiliki berbagai makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut. Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.

a.
Proses Akulturasi

Proses akulturasi, Koentjaraningrat lebih lanjut menjelaskan bahwa proses akulturasi memang sudah terjadi sejak zaman dulu kala, akan tetapi akulturasi dengan sifat yang khusus baru terjadi ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah lain di muka bumi pada awal abad ke-15 dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin.

G.M. Foster (dalam Koentjaraningrat 1990a: 97) meringkas proses akulturasi yang biasanya terjadi bila suatu kebudayaan terkena kebudayaan asing bahwa :


Hampir semua proses akulturasi mulai dari golongan atasan yang biasanya tinggal di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di daerah pedesaan. Proses tersebut biasanya di mulai dengan perubahan sosial-ekonomi.


Perubahan dalam sektor ekonomi hampi seluruh menyebabkan perubahan yang penting dalam asas-asas kehidupam kekerabatan.


Penanaman tanaman untuk ekspor dan perkembangan ekonomi uang merusak pola gotong royong tradisional, dan karena itu berkembanglah sistem pengerahan tenaga kerja yang baru.


Perkembangan sistem ekonomi utang juga menyebabkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan makan dengan segala akibat dengan aspek gizi, ekonomi, maupun sosialnya.


Proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran sosial yang tidak seragam dalam semua semua unsur dan sektor masyarakat, sehingga terjadi keretakan masyarakat.


Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu tahap dalam proses akulturasi.

b.
Kontra Akulturasi

Kontra akulturasi, menurut Koentjaraningrat (1990a: 112) dalam suatu masyarakat yang terkena proses akulturasi dan berada dalam transisi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan masa kini, berikut segala ketegangan, konflik, dan kekacauan sosialnya, tentu banyak individu atau golongan sosial yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan krisis seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan hidup dalam suasana tegang yang terus menerus. Namun, mereka juga tidak suka dengan pembaharuan, mereka itu adalah orang-orang "kolot".

Golongan kolot dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi yang cukup kuat, mampu menyusun kekuatan untuk menentang unsur-unsur baru dan menghentikan proses akulturasi untuk sementara waktu.

Sebaliknya jika golongan ini tidak kuat menghadapi proses akulturasi yang sudah sedemikian jauh, maka seringkali mereka berusaha untuk menghindarinya. Mereka akan mencari kepuasan batin seakan-akan menarik diri dari kehidupan masyarakat nyata, dan bersembunyi dalam dunia kebatinan mereka, di mana mereka dapat memimpikan zaman kebahagiaan masa lampau.

Fenomena ini adalah awal dari gerakan kebatinan kontra-akulturasi, suatu gejala masyarakat yang timbul dalam zaman transisi kebudayaan untuk menentang proses akulturasi.

c.
Permasalahan Psikologi Dalam Proses Akulturasi

Koentjaraningrat (1990a: 105-107) menerangkan bahwa kita dapat mengerti bahwa perbedaan proses akulturasi dalam sutu kebudayaan (yaitu akulturasi diferensial) juga dapat disebabkan karena perbedaan kepribadian individu-individu dengan watak kolot, tetapi ada juga yang berwatak progresif masalah sebab musabab yang telah mendalam mengenai adanya individu yang lebih progresif dari yang lain, dan masalah bagaimana cara merangsang agar individu-individu yang progresif dalam suatu masyarakat menjadi lebih menonjol telah menjadi perhatian beberapa ahli sosiologi psikologi dari Amerika.

Beberapa ahli sosiologi meragukan adanya watak kolot atau watak progresif yang dapat mempengaruhi suatu proses akulturasi dalam masyarakat, yang karena itu mengakibatkan gejala akulturasi diferensial. Sifat yang kolot atau progresif tidak ditentukan oleh kepribadian individu secara psikologi, tetapi oleh keadaan sosial di mana individu yang bersangkutan itu berada.

Para ahli yang berpendirian demikian berpendapat bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang bersifat kolot adalah mereka yang sudah memiliki kedudukan yang baik dalam masyarakat. Mereka tidak menyukai perubahan terjadi, karena dengan demikian keadaan yang baru akan mengubah kedudukan yang sudah dimilikinya.

Sebaliknya individu yang progresif adalah individu yang belum atau tidak memiliki kedudukan yang baik. Pendapat ini pernah diuji oleh penelitian E. Vogt. Vogt meneliti 12 orang bekas pejuang tentara Amerika Serikat yang berasal dari suku-suku Indian Navaho. Ke 12 orang tersebut mempunyai latar belakang yang sama, mengalami pendidikan yang sama, mempunyai pengalaman pertempuran yang sama pula. Akan tetapi sewaktu mereka keluar dari tentara ada yang hidupnya kembali seperti dulu, menjadi penggembala domba. Adapula yang hidupnya tidak teratur dan adapula beberapa yang telah meninggalkan masyarakat Navaho dan mempunyai kedudukan di tengah-tengah masyarakat orang bule.

Penelitian Vogt ini dilakukan dengan menggunakan tes psikologi, dan berhasil menyimpulkan bahwa orang-orang Navaho yang sebelumnya memiliki kehidupan yang memuaskan di tengah masyarakat Navaho, kembali menjadi orang kolot, sedangkan mereka yang dulunya belum memiliki kedudukan tetap, menjadi orang yang progresif atau menjadi kacau.

2. Asimilasi

Asimilasi menurut Koentjaraningrat (1996: 160) adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara insentif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Biasanya suatu asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dengan golongan minoritas. Dalam proses ini, biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaan lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.

Dari berbagai proses asimilasi yang pernah dikaji, diketahui bahwa pergaulan intensif saja seringkali belum tentu mengakibatkan terjadinya suatu proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati antara kedua golongan tersebut. Contohnya adalah orang-orang Cina di Indonesia, yang walaupun telah bergaul secara intensif dengan penduduk pribumi secara berabad-abad, belum seluruhnya terintegrasi ke dalam msyarakat dan kebudayaan Indonesia.

Sebaliknya, kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu kebudayaan lain umumnya disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan yang dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaannya sendiri lebih unggul dari kebudayaan yang dihadapi.

2.5 Proses Pembauran atau Inovasi atau Penemuan Baru

Inovasi adalah suatu proses pembauran dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal serta penataan kembali dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru, sehingga terbentuk suatu sistem produksi baru dari produk-produk baru. Dengan demikian, inovasi adalah pembauran unsur teknologi dan ekonomi dari kebudayaan (Koentjaraningrat, 1996: 161).

Selanjutnya dikatakan Koentjaraningrat, bahwa suatu proses inovasi tentu berkaitan dengan penemuan baru dalam teknologi yang biasanya merupakan suatu proses sosial yang bertahap dari discovery (penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik suatu alat atau gagasan baru dari seorang atau sejumlah individu) menuju invention. Discovery baru dapat menjadi invention apabila suatu penemuan baru telah diakui, diterima, dan diterapkan oleh suatu masyarakat.

Proses berlangsungnya tahap discovery sampai pada tahap invention menurut Koentjaraningrat (1990: 109) seringkali berlangsung lama dan kadang-kadang tidak hanya menyangkut satu individu, yaitu si penciptanya yang pertama, melainkan dapat melibatkan serangkaian individu yang terdiri dari beberapa pencipta.

Hal yang menjadi daya tarik bagi para ahli sosiologi adalah faktor yang mendorong individu dalam suatu masyarakat untuk memahami suatu upaya yang akan menuju ke suatu penemuan baru. Barnett (dalam Koentjaraningrat, 1990: 109) mengajukan pendapat bahwa para individu yang "tidak terpandang dalam masyarakat atau yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya" malah cenderung yang sering termotimavasi untuk mengadakan pembaruan dalam kebudayaan, dan menjadi pendorong terjadinya suatu penemuan baru yang kemudian terjadinya suatu inovasi.

Koentjaraningrat (1990: 109) menambahkan bahwa untuk mendorong kreativitas diperlukan pula oleh tumbuhnya, yaitu.

1.
Kesadaran para individu akan adanya kekurangan-kekurangan dalam kebudayaan mereka;

2.
Mutu dari keahlian para individu yang bersangkutan;

3.
Adanya sistem perangsang dalam masyarakat yang mendorong mutu;

4.
Adanya krisis dalam masyarakat.

Haviland (1993a: 253) membagi penemuan baru (discovery) menjadi dua, yaitu penemuan primer dan penemuan sekunder. Penemuan primer adalah penemuan secara tidak sengaja (kebetulan) suatu prinsip baru, sedangkan penemuan sekunder perbaikan-perbaikan yang diadakan dengan menetapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui.

Sebuah contoh penemuan primer sebagaimana yang diuraikan oleh Haviland (1993a: 255-256) adalah penemuan pembakaran tanah liat yang membuat bahannya menjadi keras seterusnya. Dapat diduga bahwa sering terjadi pembakaran tanah liat secara tidak sengaja dalam api untuk memasak pada zaman dahulu. Akan tetapi, kejadian secara kebetulan tersebut bukan suatu penemuan kalau orang tidak mengetahui bahwa penemuan itu dapat diterapkan untuk suatu keperluan.

Kira-kira 25.000 tahun yang lalu orang melihat cara penerapannya, sebab patung-patung kecil dibuat dengan tanah yang dibakar. Akan tetapi, orang tidak membuat bejana tembikar, dan rupa-rupanya penemuan tersebut tidak sampai ke Timur Tengah. Kalau terjadi, hal tersebut tidak sampai berakar. Baru pada suatu waktu di antara 7.000 dan 6.500 tahun S.M. diketahui adanya penerapan pembakaran tanah liat di Timur Tengah dengan dibuatnya wadah-wadah dan bejana untuk memasak, yang murah, awet, dan mudah dibuat.

Rekonstruksi perkembangan wadah-wadah yang tertua, yang telah diketahui terjadi sebagai berikut. Menjelang 7.000 tahun S.M. dalam tempat memasak di Timur Tengah terdapat wadah yang tepinya terbuat dari tanah liat, yang dibuat bersatu menjadi bagian dari lantai, dan tungku serta perapian dari tanah liat. Dalam situasi yang demikian itu terjadinya pembakaran tanah liat secara tidak sengaja tidak mungkin dapat dihindarkan.

Pada zaman itu tanah liat juga digunakan dalam pembangunan rumah, untuk membuat patung-patung kecil, dan untuk membuat dinding lubang-lubang penyimpanan. Jadi, walaupun orang sudah biasa bekerja dengan menggunakan tanah liat, tidak ada pembakaran untuk mebuat wadah kecuali sebagai dinding lubang penyimpanan. Sebagai wadah, yang biasanya digunakan adalah wadah dari batu, keranjang, atau kantong kulit.

Dengan demikian penemuan tembikar sebagai penemuan primer, dalam proses penemuannya banyak dijumpai teknik-teknik yang sudah dikenal atau diketahui sebelumnya, yaitu teknik atau cara pembakaran tanah liat yang dipakai untuk keperluan selain tembikar. Dengan cara yang sudah diketahui, maka tanah liat dapat dibentuk menjadi bentuk keranjang biasa, bentuk kantong kulit, atau berbentuk seperti wadah batu dengan cara dibakar dalam api terbuka atau di dalam tungku yang juga digunakan untuk memasak makanan.

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada perbedaan pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif.

Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi "kata benda" tetapi "kata kerja".

Konsep kebudayaan telah diperluas dan didinamisasi, kendatipun secara akademik orang sering membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada dasarnya keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis. Sebab kebudayaan sebagai wilayah akal budi manusia tidak hanya mengandung salah satu aspek dari kegiatan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban merupakan dua sisi mata uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas. Jika kebudayaan adalah aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi realisasi aspirasi itu.

Menurut Koentjaraningrat (1996: 142) semua konsep yang kita perlukan untuk menganalisa proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai dinamika social. Beberapa konsep tersebut antara lain sebagai berikut.

5.
Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi;

6.
Evolusi kebudayaan dan difusi;

7.
Proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi;

8.
Proses pembauran atau inovasi atau penemuan baru.


 

3.2 Saran

Pada proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi. Sebaiknya kita harus selektif dalam menerima setiap kebudayaan asing, sehingga kita dapat mengambil kebudayaan asing yang bernilai positif bagi perkembangan bangsa dan negara dan menolak setiap kebudayaan asing yang benilai negatif (seperti pergaulan bebas, hedonisme, dll) yang dapat merusak moral bangsa dan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Sosiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 1996. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nugroho, Widodo dan Achmad Muchji. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Soekanto, Sorjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

MENGGAMBAR MODEL

  Pengertian Menggambar Model Model merupakan objek gambar yang menjadi bahan ispirasi dalam kegiatan menggambar model.  Menggambar model ...